Pemerintahan Myanmar mulai terpojok karena banyak ditekan negara akibat
perbuatan pembantaian etnis muslim minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Kini, mereka mulai mendekati China dan Rusia supaya kedua negara
memiliki hak veto itu menolak segala keputusan diambil Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, terkait krisis di Rakhine.
Hal itu
disampaikan oleh Penasehat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun, dalam
jumpa pers di Ibu Kota Naypyitaw, hari ini. Dia menyatakan sangat
berharap China dan Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB
menggunakan hak veto mereka, jika ada resolusi diterbitkan terkait Rohingya."Kami
sedang berunding dengan beberapa negara sahabat supaya permasalahan ini
tidak dibahas di Dewan Keamanan PBB. China dan Rusia adalah kawan kami,
jadi ada kemungkinan mereka mau membantu kami," kata Tun, seperti
dilansir dari laman Reuters, Rabu (6/9).
Hingga saat ini, tercatat sudah
146 ribu orang Rohingya mengungsi ke wilayah Cox's Bazar, dekat
perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Jika digabungkan dengan mereka
yang kabur sejak Oktober lalu menjadi sekitar 233 ribu orang. Sebagian
dari mereka nekat berjalan kaki melintasi perbukitan, hutan, dan
persawahan. Lainnya menumpang kapal menghindari kejaran tentara Myanmar.
Beberapa perahu tenggelam karena kelebihan muatan, dan sejumlah
penumpangnya, termasuk anak-anak, meninggal.Pemerintah Myanmar juga
sengaja menanam ranjau di wilayah perbatasan dengan Bangladesh selama
tiga hari belakangan. Bangladesh memprotes tindakan itu lantaran lokasi
ladang ranjau berada sangat dekat dengan wilayah perbatasan mereka.
Diduga hal itu dilakukan buat mencegah orang Rohingya yang mengungsi
kembali ke Rakhine. Namun, pemerintah Myanmar menyangkal tudingan itu.
Mereka berdalih kalau ranjau itu sudah ditanam sejak 1990 buat mencegah
penerobos, dan militer juga berusaha memindahkannya.Konflik meletup
belakangan semakin membesar karena sejumlah orang Rohingya membentuk
organisasi Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA), dan menyerang
beberapa pos polisi. Pemerintah Myanmar menyatakan mereka adalah teroris
dan mengambil tindakan keras. Sedangkan ARSA beralasan mereka melawan
demi melindungi sesama orang Rohingya dan tidak hendak memberontak.
Pembantaian
orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine terjadi sejak lima tahun lalu.
Sumber masalahnya adalah undang-undang dasar Myanmar tidak mengakui
orang Rohingya sebagai salah satu etnis tetap di Myanmar. Pemerintah
Myanmar beralasan orang Rohingya adalah pendatang gelap dari Bangladesh.
Sedangkan Bangladesh juga tidak mengakui etnis Rohingya sebagai
warganyaKarena tidak diakui dalam konstitusi, Myanmar menolak memberikan
status kewarganegaraan buat orang Rohingya. Orang Rohingya dibiarkan
hidup melarat, tidak disediakan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan
tidak dilindungi aparat keamanan. Mereka juga kerap dipinggirkan di
tengah-tengah penduduk mayoritas Buddha. Karena hasutan seorang biksu
yang juga menjadi dalang Gerakan 969 dan meluas menjadi sentimen
anti-Islam, Ashin Wirathu, penduduk mayoritas Buddha tersulut dan
menyerang orang-orang Rohingya