Rakyat Timor Leste begitu marah terhadap tindakan semena-mena Australia.
Bahkan, sudah ada gerakan rakyat Timor Leste yang menuntut Australia angkat
kaki, dan segera menetapkan batas perairan di Laut Timor.
Selain itu, mereka juga mendesak negeri Kanguru itu untuk segera
mengakhiri penjajahannya di Laut Timor.
"Apa yang diperjuangan rakyat Timor Leste, sama dengan apa yang
diperjuangkan rakyat Timor Barat di Nusa Tenggara Timur selama ini, sebab
hampir 90 persen kekayaan alam di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi,
dikuasai sepenuhnya oleh Australia," kata Ferdi Tanoni, pemerhati masalah
laut Timor kepada pers di Kupang.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan,
penetapan batas wilayah perairan dengan menggunakan prinsip-prinsip
internasional (median line) di Laut Timor,
merupakan pilihan yang tepat agar kekayaan alam yang terkandung di Celah Timor (Timor Gap) juga dinikmati oleh rakyat kedua
negara yang ada di Pulau Timor ini.
Kemarahan rakyat Timor Leste memuncak. Sekitar
5.000 massa yang tergabung dalam Gerakan Anti Okupasi Laut Timor melancarkan
aksi demontrasi di depan Kedutaan Besar Australia di Dili, ibu kota negara
Timor Leste, menuntut penyelesaian sengketa batas laut dengan mengacu pada
juridiksi pengadilan internasional (ICJ) serta garis tengah (median line)
sebagaimana diatur dalam hukum internasional.
Para demonstran menilai Australia tidak
menghargai kedaulatan Timor Leste, karena tidak memiliki niat baik untuk
menyelesaikan batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor yang kaya akan
minyak dan gas bumi itu.
"Australia harus secepatnya
menyelesaikan sengketa celah Timor dengan Pemerintah Timor Leste. Jangan hanya
menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk mencuri kekayaan alam yang
ada di Laut Timor," kata juru bicara Gerakan Anti Okupasi Laut Timor,
Juvinal Dias dalam orasinya.
Menurut dia, sudah lebih dari 40 tahun,
Laut Timor dan isinya di eksploitasi oleh Australia. Sejak 1999, atau setelah
jajak pendapat di Timor Timur, Australia sudah meraup keuntungan dari Celah
Timor sekitar 5 miliar dolar AS, sehingga mengulur-ulur waktu untuk melakukan
perundingan secara trilateral dengan Timor Leste dan Indonesia.
Terkait dengan hal ini, Ferdi Tanoni
yang juga mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia tersebut mendesak
Canberra untuk segera mengakhir penjajahannya di atas Laut Timor, karena harta
dan kekayaan alam yang terkandung di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi
merupakan haknya rakyat di Pulau Timor.
Penulis buku "Skandal Laut Timor,
Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu juga mendesak Canberra
untuk mengembalikan hak-hak rakyat Timor Barat, NTT atas gugusan Pulau Pasir
yang telah diklaim Australia sebagai bagian dari cagar alam negeri Kanguru.
Gugusan Pulau Pasir yang kaya akan
minyak dan biota laut itu, merupakan tempat peristirahatan para nelayan
tradisional Indonesia setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah
perairan tersebut sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Kapten Samuel
Ashmore dari Inggris berlayar mencapai gugusan kepulauan tersebut pada 1811.
Tanoni juga mendesak Pemerintahan
Presiden Joko Widodo untuk membatalkan seluruh perjanjian batas perairan antara
RI-Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru yang dibuat sejaktahun 1974-1997
serta seluruh perjanjian kerja sama Perikanan RI-Australia yang sangat
merugikan rakyat Indonesia di Timor Barat.
Karena itu, kata dia, penetapan batas
wilayah perairan ketiga negara (RI-Timor Leste-Australia) di Laut Timor
berdasarkan prinsip-prinsip internasional (media line) merupakan pilihan yang
tepat agar harta kekayaan yang terkandung di Laut Timor, tidak hanya dinikmati
oleh Australia.
"Jakarta dan Dili perlu terus
mendesak Canberra agar batas wilayah perairan di Laut Timor segera ditetapkan
secara permanen, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara
merdeka, yang tentunya ikut mempengaruhi batas wilayah perairan yang perlu
dirundingkan secara trilateral," demikian Ferdi Tanoni.