Konsekuensi Menjadi Indonesia
Dua alasan yang menurut Suyitno dianggap tidak berdasar oleh Komnas HAM, Siti Noor Laila. Menurutnya, masuknya Yogyakarta ke dalam wilayah Indonesia memiliki
konsekuensi, bahwa Yogyakarta harus tunduk pada peraturan yang berlaku
di Indonesia.
"Sultan HB IX telah menyerahkan tanahnya kepada negara, setelah UU
Pakar HB X yang menyatakan bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta,"
kata Laila.
Hal
tersebut juga dikonfirmasi oleh anggota Komisi II Dewan Perwakilan
Rakyat, Budiman Sujatmiko yang menangani masalah pertanahan di
Indonesia. Menurutnya, apapun latar belakangnya, surat instruksi tahun 1975 menentang UUPA. Karena otomatis aturan itu tidak berlaku.
"Seharusnya tidak ada perbedaan seperti itu. Otomatis setelah UUPA diberlakukan, aturannya sudah tidak berlaku lagi. Setiap warga negara memiliki hak yang sama. Ini tidak benar, "kata Budiman.
Sementara terkait dengan argumen diskriminasi positif, Komnas HAM pernah membahasnya dengan Pemerintah Daerah Yogyakarta. Dalam surat rekomendasi Komnas HAM yang ditujukan kepada Gubernur DIY
pada 11 Agustus 2014, jelas bahwa dasar diskriminasi tidak dapat
dibenarkan.
Menurut
Komnas HAM, kebijakan afirmatif hanya dapat dilakukan untuk melindungi
kelompok rentan, yaitu anak-anak, perempuan, orang tua, cacat, dan
kelompok minoritas. Selain itu, pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan dalam bentuk undang-undang, bukan surat perintah.
"Fakta bahwa ekonomi yang kuat bukan hanya keturunan Tionghoa, ada juga keturunan Cina yang miskin. Begitupun pribumi, ada juga ekonomi yang kuat. Saat ini masih ada perbedaan asli dan non-pribumi, ini jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia, "kata Laila.
Pernyataan
Laila diperkuat oleh Thomas Santoso, salah satu badan pemerintahan
Bakti Putra dari sebuah kelompok etnis Tionghoa di Yogyakarta. Menurutnya, di Yogyakarta ada sekitar 20.000 sampai 30 ribu Tionghoa. Sementara, jumlah penduduk Yogyakarta mencapai 3,6 juta. Dari jumlah tersebut, rata-rata luas lahan yang dimiliki keluarga Tionghoa hanya 200 meter persegi.
"Itu hampir semuanya HGB (Hak Guna Bangunan), bukan SHM. Karena ada aturan seperti itu. Coba saja bandingkan jumlah penduduk asli, hingga 5 persen, "kata Thomas.
Meminta Niat Baik
Niat
baik di balik Instruksi Wagub tahun 1975 untuk melindungi mereka yang
ekonomi lemahnya sebenarnya sangat mudah untuk mengemukakan perdebatan. Sebab, dalam beberapa kasus ada inkonsistensi antara niat baik dengan implementasi.
Misalnya, dalam kasus perselisihan tanah antara lima PKL di Gondomanan dengan pengusaha China Eka Aryawan. Kelima PKL tersebut adalah tukang kunci Budiono, pedagang padi
Sekanah, tukang kunci Agung yang juga anak-anak Budiono, dan suami
pasangan Sugiyadi dan Suwarni bakmi.
Tanah yang disengketakan sebenarnya adalah tanah milik Keraton Yogyakarta. PKL telah menempati lokasi tersebut sejak tahun 1960an. Pada
tahun 2011, Eka menerima surat kepercayaan dari Panitikismo Istana
Yogyakarta untuk menggunakan tanah yang diduduki oleh PKL. Eka telah mendapatkan surat tersebut dengan cara menyewa ke Keraton
Yogyakarta selama 10 tahun dengan harga Rp 274ribu per tahun.
Eka
kemudian meminta lima PKL untuk meninggalkan tanah tersebut, karena
akan digunakan sebagai pintu masuk ke Rumah Toko yang sedang dibangun,
tepat di belakang lima pialang PKL. Namun, sejak PKL berkeras untuk pindah, pada bulan Agustus 2015, Eka
mengajukan tuntutan hukum senilai Rp 1,12 miliar kepada lima PKL ke
Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Alih-alih membela PKL, Kraton memilih untuk tetap diam. Meski berusaha melakukan mediasi, Kerajaan tidak berbuat banyak. Pengadilan PKL diadakan dan dimenangkan oleh Eka Aryawan.
Kasus ini menjadi ironi. Jika ada niat di balik peraturan tersebut, tentu tidak demikian halnya dengan orang kecil seperti lima PKL tidak akan terjadi.
sumber: Okezone.com