Pemimpin komunitas Muslim Rohingya di Arab Saudi Abu
Al-Shamie Abdulmajid mengatakan mimpi
mereka jadi kenyataan untuk bisa menjadi warga yang sah di Arab Saudi.
Menurutnya, hal itu berkat langkah kerajaan Arab Saudi yang
mengakui keberadaan warga Rohingya di negara itu.
Diberitakan Saudi Gazette, hari ahad (15/03/2015), Kerajaan
Arab Saudi telah memberikan izin tinggal (iqama) kepada 170 ribu pengungsi
Muslim Rohingya di negara tersebut. Sementara jutaan penduduk Rohingya lainnya
tengah menjalani proses penerimaan iqama.
Media lain, Arab News memberitakan, masih ada sekitar 4 juta
warga Rohingya di Saudi kini berhak untuk mendapatkan iqama.
Abdulmajid bahkan
mengatakan warga Rohingya telah lebih dari 70 tahun lalu menjadi bagian dari
Arab Saudi, setelah kabur dari pembantaian etnis di Myanmar.
PBB menyebutkan, Muslim Rohingya adalah suku paling
teraniaya di dunia. Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara,
sementara penganut Buddha memusuhi mereka kendati mereka telah tinggal beberapa
generasi di negeri itu.
Dengan iqama ini, kata Abdulmajid , berbagai permasalahan
yang menimpa warga Muslim Rohingya di Saudi akan sirna.
Bahkan kini, warga Rohingya bisa bebas bekerja, mendapatkan
layanan medis dan menempuh pendidikan di sekolah pemerintah serta hak-hak warga
negara lainnya.
“Kami sekarang bisa bergerak bebas dan bergabung dengan
sistem pendidikan umum, tidak lagi belajar di sekolah sumbangan swasta,” kata
Abdulmajid .
Sejak tahun 1968 pemerintah Saudi mendukung kaum Rohingya,
ditandai dengan penerimaan imigran pertama dari Myanmar oleh Raja Abdul Aziz.
Izin tinggal tetap dikeluarkan untuk Rohingya di Saudi tahun 1980 pada
pemerintahan Raja Saud.
Saudi memasukkan warga Rohingya sebagai pendatang yang
dilindungi. Artinya mereka kebal beberapa hukum dari peraturan kependudukan dan
tidak ada yang boleh menyakitinya.
Mayoritas warga Rohingya tinggal di Makkah, kebanyakan
bekerja di sektor konstruksi atau mengajarkan hafalan al-Quran.
Abdulmajid , seperti warga Rohingya lainnya, sudah mengubur
harapan untuk kembali ke tanah kelahiran mereka di Myanmar. Menurut dia,
impiannya untuk pulang sirna karena penganiayaan terhadap mereka masih terjadi
di negara itu.
“Mimpi kembali ke Myanmar telah sirna dari hati komunitas
Rohingya karena ketiadaan paspor, terutama karena duta besar Pakistan dan
Bangladesh menolak memberikannya. Ketakutan akan pengadilan dan penyiksaan
terhadap Muslim juga membuat mimpi ini mustahil diwujudkan saat ini,” kata
Majid.*