Terry Holdbrooks Ia bergabung dengan militer pada tahun
2002 untuk keluar dari garis kemiskinan. Pada tahun 2003 ia dikirim ke
Teluk Guantanamo, Kuba, untuk bekerja sebagai penjaga di kamp-kamp
penjara.
Sebelum berangkat ke Guantanamo, ia mengikuti pelatihan selama dua
pekan. Di pelatihan itu ia diajarkan bahwa para tahanan adalah “militan
Al-Qaeda dan Taliban, orang yang membenci Amerika dan benci kebebasan”,
ia mengatakan.
“Kami tidak diajarkan apa-apa tentang Islam. Kami ditunjukkan video 11
September dan kami semua diberitahu bahwa para tahanan tersebut adalah
yang teburuk dari yang terburuk -mereka adalah supir Bin Laden, koki Bin
Laden, dan (kami diberitahu bahwa) orang-orang ini akan membunuhmu pada
kesempatan pertama yang mereka dapatkan,” tuturnya.
Ia diberi tugas memanggil para tahanan ke ruang interogasi, mengamati
sel penjara untuk memastikan para tahanna tidak bertukar berbagai hal di
antara mereka, membersihkan, dan sebagainya.
Ia mengatakan, ia menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Amerika yang ia tidak pernah berpikir itu mungkin terjadi.
“Saya melihat orang-orang dalam keadaan stres selama delapan jam sampai
mereka buang air besar, lalu penjaga mengebiri mereka. Saya melihat
tahanan diborgol ke lantai dengan pendingin ruangan yang disetel tinggi,
kemudian disiram dengan air dingin. Darah menstruasi dioleskan pada
wajah mereka dan mereka dipaksa untuk mendengar musik yang sama
berulang-ulang selama berjam-jam.”
Namun yang mencuri perhatiannya selama di Guantanamo adalah sebagian
besar dari para penjaga merasa sengsara, termasuk dirinya sendiri.
Mereka (para penjaga tahanan) menyalahgunakan alkohol, cabul, dan
berolah raga untuk melarikan diri dari penderitaan mereka.
Di sisi lain, para tahanan tersenyum meskipun siksaan terhadap mereka
tak pernah berhenti. Mereka sangat dekat dengan agama mereka dan
melakukan ritual mereka (ibadah) dengan penuh ketaatan.
Terry mencoba memahami bagaimana orang-orang ini masih percaya Tuhan
yang penyayang yang memberi mereka cobaan yang mereka alami.
“Saya memiliki semua kebebasan di dunia, tapi saya bangun dengan keadaan
tidak bahagia. Sementara orang-orang ini berada di kandang, tersenyum,
dan berdoa lima kali sehari.”
Terry mulai berbicara kepada para tahanan.
“Saya tidak tahu apapun tentang Islam sebelum Guantanamo. Jadi ini
culture shock untuk saya. Saya ingin belajar sebanyak yang saya bisa,
jadi saya mulai berbicara dengan para tahanan tentang politik, etika dan
moral, dan tentang kehidupan mereka dan perbedaan budaya. Kami
berbicara sepanjang waktu,” ucapnya.
Salah satu tahanan yang berbicara banyak dengannya adalah Ahmed Errachidi.
“Kami akan berbicara selama berjam-jam. Kami berbicara tentang buku,
musik, filosofi. Kami terus terjaga sepanjang malam dan berbicara
tentang agama.”
Ahmed Errachidi merupakan orang Maroko yang tinggal di Inggris selama 18
tahun. Oleh tahanan lain ia dijuluki Sang Jenderal. AS menuduhnya
mengikuti kamp pelatihan Al-Qaeda, tapi kemudian ia dinyatakan tidak
bersalah dan dibebaskan.
Selama bertugas di penjara Guantano, Terry juga melakukan penelitian,
membaca Al-Quran, mengobrol dengan Muslim di internet. Ia mulai merasa
suka tentang Islam.
“Al-Quran adalah buku yang paling sederhana di dunia untuk dibaca. Ia
tidak memiliki sihir. Isinya tidak saling bertentangan. Ini hanya sebuah
instruksi manual untuk hidup.”
Ia melihat para tahanan tersebut sebagai bukti bahwa instruksi manual bekerja bahkan dalam situasi hidup yang ekstrim.
Akhirnya suatu hari di bulan Desember tahun 2003, ia berbicara dengan
Errachidi dan mengikrarkan syahadat. Ia memeluk Islam selagi ia masih
menjadi seorang penjaga di penjara Guantanamo.
“Tidak mudah untuk sholat lima kali sehari tanpa ada yang mengetahui.
Saya mengatakan kepada mereka, saya harus sering ke kamar mandi.”
Pada tahun 2004, Terry meninggalkan Guantanamo dan pada bulan Oktober
tahun 2005 ia meninggalkan militer. Ia mengatakan, “Islam adalah sebuah
agama yang sangat disiplin dan teratur. Menjalaninya memerlukan banyak
upaya dan keyakinan.”
Sumber Berita : arrahmah